Semangat Indie di JiFFest

Redanya hujan yang mengguyur Bandung sore itu ditandain sama applause sekitar 100-an penonton yang udah nongkrong di Liga Film Mahasiswa ITB, yang juga jadi pertanda selesainya film yang mereka tonton. Satu persatu lantas mereka keluar dengan wajah puas.

"Bagus banget filmnya". Itu komentar dari kebanyakan penonton "Invasion of The Barbarian", salah satu film independent yang diputer di JiFFest Travelling Bandung 2004, di LFM ITB (9/5) kemaren. Komentar serupa juga diungkapin sama Kandi, salah satu penontonnya. "Teknik ngambil gambarnya bagus, skenarionya bagus," komentar mahasiswi Biologi ITB angkatan '99.

Sejak 1999, Yayasan Masyarakat Mandiri Film Indonesia ngegelar Jakarta International Film Festival (JiFFest), yang jadi wadah buat sineas-sineas muda berbakat seluruh dunia, buat unjuk gigi nampilin karya mereka. "Misinya adalah meningkatkan apresiasi masyarakat pada film yang bukan produksi industri masal," ungkap Program Manager JiFFest, Lalu Rosiamri.

Buat di Bandung sendiri, pihak JiFFest menggandeng Klab Baca Toko Buku Kecil (Tobucil) yang bermarkas di bilangan Kyai Gede Utama, sebagai local partner. "Ini kali ketiga sejak 2002, kita jadi local partner JiFFest di Bandung," jelas pihak Tobucil, Tarlen Handayani.

Dua puluh lima judul film yang terdiri dari film lokal dan internasional dibawa "keliling" ke delapan kampus se-Bandung mulai 8 Mei kemaren sampe 13 Mei nanti (lihat box).

Kampus? Enggak usah minder dulu buat belia yang masih sekolahan. Itung-itung sambil liatin kondisi kampus yang, tokh, nanti bakal belia tempatin juga 'kan. Udah bagus filmnya, gratis lagi. Nggak bakalan rugi kan.

Film non-mainstream,

Film-film yang diputer di JiFFest, rada beda sama film-film bioskop yang biasa belia tonton. Film-film itu ngusung semangat indie, yang biasanya diproduksi dengan biaya relatif rendah, dan pilihan temanya di luar mainstream.

Jadi jangan heran kalo content film rada-rada "gila" dan enggak umum banget. Kalo masih bingung sama model filmnya kayak gimana, coba deh, dateng ke rental VCD yang paling deket, terus pinjem film-film karya Oliver Stone, atau Quentin Tarantino. Dijamin deh, bingung sekaligus terpukau.

Kenapa mesti bingung sekaligus terpukau? Jelas aja, buat paham film seperti karya dua sineas tadi, dibutuhin tingkat konsentrasi tinggi waktu nontonnya. Alurnya terkadang enggak lazim, atau sudut pengambilan gambarnya sering nyeleneh, yang juga kadang bikin bola mata kita sibuk, hehehe. Dan begitu juga halnya kalo belia nonton film-film JiFFest. Tema-tema HAM, perubahan sosial, isyu globalisasi, bahkan propaganda sekaligus, jadi menu yang umum.

Istilah independen sendiri memang rada rancu waktu diterapin di konteks Indonesia. "Di Amerika, istilah film independen adalah film yang melepaskan diri dari industri yang mapan. Di Indonesia, film indie sendiri bisa didefinisikan sebagai film yang enggak masuk bioskop," jelas Salman Aristo, penulis skenario sekaligus editor MTV Trax. Karena make semangat indie tadi yang biasanya punya karakteristik "idealis" dan "low budget", booming bikin film indie pun terjadi.

Booming ini sendiri enggak lepas sama perkembangan teknologi, yang makin ngedeketin sama konsumennya. Sebut aja munculnya berbagai handycam digital yang makin banyak ditemuin di pasaran. Dengan itu, biaya produksi sebuah film bisa dipangkas. "Sekarang, dengan budget seratus ribuan, udah cukup buat biaya produksi bikin film sendiri," jelas Dhanie, Pimpro JiFFest Travelling Bandung 2004 untuk ITB.

Selain itu, menjamurnya kine klub bisa jadi wadah buat apresiasi juga ngedongkrak produktivitas film indie. "Booming film-film indie lokal dimulai dari munculnya Komunitas Film Independen (Konfiden)," kata Salman Aristo yang akrab disapa Aris.

Film-film yang dibikin lalu diapresiasi, dan enggak jarang yang lantas didistribusiin sendiri. Caranya diputer keliling ke berbagai tempat. Indie banget, 'kan?

Buka mata buka pikiran

Film indie yang biasanya menghabiskan budget relatif tidak besar, buat bisa dinikmati, harus punya nilai lebih yang bernama kualitas. Kualitas ini bisa didapet lewat konsep cerdas dan brilian yang diturunkan ke tataran teknis filmmaking. Dan untuk "membaca" produk jadinya, dibutuhkan juga tingkat apresiasi yang boleh dibilang tinggi dari si penonton.

JiFFest sendiri jadi salah satu event dari banyaknya event apresiasi sama film, lokal maupun internasional. Selama dua hari pemutaran film JiFFest Travelling Bandung 2004, tercatat 200-an pengunjung yang "betah" nonton. Ini patut diacungi jempol, karena disadari atau enggak, kualitas tinggi sebuah film juga bakal sebanding sama kritisnya daya pikir pengunjung. Makin kritis penonton, makin tinggi pula kualitas film.

Menurut Mas Lalu, tingkat apresiasi penonton sama film indie sejauh ini boleh dibilang tinggi. "Parameternya, misal Festival Film Independen Indonesia (FFII). Ada peningkatan 100% jumlah peserta di tahun berikutnya," jelasnya. Gila enggak tuh?

Nah, mumpung belia lagi pada liburan nunggu Ujian Akhir Nasional (UAN), kenapa enggak coba nonton sekaligus ngapresisasi film yang masih bakalan diputer sampe tanggal 13 Mei nanti. Udah gratis, wawasan belia dijamin bakal nambah. Jenuh 'kan, nonton terus sinetron "ngawang" di televisi yang cuman jualan bintangnya doang?

Makanya, coba tonton film-film "alternatif" yang diputer di JiFFest Travelling Bandung yang punya kekuatan di content. Syaratnya, seperti kata Tarlen, gampang aja koq: buka mata buka pikiran.

Read More......

Media indie, Musik dan Gaya Hidup

Untuk membentuk citra indie sebagai sebuah semangat kemandirian, keluar dari batas hingga menunjukkan jati diri, maka musik adalah media dalam bentuk yang lain juga. Musik dan media adalah seirama. Ditambah lagi dimanapun juga, tak terkecuali di kota-kota kecil, studio musik sudah menjadi pemandangan semangat jaman.

Secara behavior, maka studio musik adalah tujuan untuk membentuk sebuah komunitas baru. Biasanya pula, disinilah awal bagi semangat indie untuk merambah media lain seperti majalah yang sekarang banyak beredar.


Apakah hubungan antara musik dengan gaya hidup tersebut? Untuk menjawab hal ini, maka taruhlah misal penyuka musik hip hop tentu akan berbeda dengan penyuka musik punk. Begitu pula penyuka musik F4 tentu akan berbeda dengan penyuka musiknya Radiohead. Hal inilah yang membentuk gaya hidup secara ideologi maupun secara performance. Secara ideologi, bila dalam proses pemikiran ada semacam pemahaman terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan untuk berbuat sesuatu, baik itu membangun, merubah ataupun menghancurkan.

Secara performance, audiens dapat berbeda konsepnya ketika memaknai sesuatu dengan penampilannya. Hal inilah yang akan mematangkan target audiens yang akan dituju. Tidak semua anak muda mempunyai semangat indie, karena tidaklah menyalahkan mereka kalau sejak mereka menyusui mereka sudah ditanamkan pada sebuah brand, bahwa ‘yang besar adalah yang bermutu’.

Hal tersebut berkaitan erat pula dengan kesanggupan media indie untuk memasuki area di luar komunitasnya. Bila demikian jadinya, maka hitunglah akan berapa tercetak majalah yang menyuarakan komunitasnya.

Inilah yang saya sebut media indie sebagai citra komunitas. Bila ada lima komunitas dengan lima ideologi yang berbeda, maka sudah ada lima majalah yang akan terbit. Wow…ini mungkin masih di satu kota, bayangkan bila setiap kota di Indonesia mempunyai komunitas dengan ideologi yang berbeda. Maka tidaklah mengherankan bila majalah-majalah indie inilah yang akan berpotensi menjadi menyodok majalah besar yang lebih dulu ada.

Ketika di awal penerbitan Trolley tahun 1999, maka ia sudah bisa disebut sebagai media indie, karena sumber dananya yang benar-benar tanpa subsidi penerbitan besar. Media inipun (dengar-dengar) membuat Majalah Hai kehilangan arah, karena kehadiran Trolley yang tak diduga sebelumnya dari tampilan visual maupun isinya begitu fantastik (untuk hal ini saya sangat salut pada Trolley). Dengan mengangkat isu gaya hidup, seni rupa dan musik Trolley memposisikan diri sebagai majalah indie dengan penggarapan yang serius dengan kekhasan Bandung-nya. Meski ia sekarang menjadi sejarah lahirnya anak muda yang tak terlalu menggantungkan mainstream untuk mendapatkan ideologinya, namun Hai sempat ‘terbakar’ oleh hadirnya media indie.

Lihatlah sekarang Hai tidak mempunyai energi lagi bila tidak bisa dikatakan tidak kreatif.

Selepas Trolley, maka lahir pula majalah indie yang lebih segmented, yaitu Blank!. Dengan membidik pasar primer pecinta desain grafis, majalah ini lahir dengan menawarkan khas aroma Jogja. Berbarengan dengan Blank! Makin banyak saja majalah yang tidak hanya menawarkan tulisan, namun juga komik dengan cita rasa lokalnya, misalnya komik dari komunitas Daging Tumbuh atau komunitas Tehjahe. Selanjutnya Outmagz (Jogja) hingga majalah Pause dan Ripple (Bandung) atau Singkink (Solo) makin menebar cita rasa indie yang tidak terkungkung oleh bahasa jurnalistik yang pakem, namun lebih menawarkan keinginan untuk bersenang-senang atau berenang dalam ideologi.

Read More......

Download Lagu

Download Lagu


The Morning After-Quatro

Download Now


Monkey to Millionaire-Rules and Policy

Download Now


Kurang lengkap ?
Cari Lagi Di : Download Lagu-Lagi






Read More......

Dengerin Lagu

Dengerin Lagu

Mau dengerin lagu lokal yang lagi nge-hits?

Yakin anda ingin dengerin lagunya ?

Klik Di : Dengerin Lagu



Read More......

Kemerdekaan Berekspresi…

Teks oleh Oet Eno(musisi, penyanyi Indie asal Jakarta)

Perkembangan musik dunia seiring dengan peradabannya. Beragam dan banyak alirannya, tergantung penyampaian, cara karya musik tersebut ditampilkan. Baik aransemen, karakter vokal penyanyi, atau alat musik yang digunakan.

INDIE berasal dari kata independent , yang artinya merdeka. Merdeka dalam makna bebas berekspresi, bebas berkarya, idealis, cenderung tidak begitu menghiraukan sisi komersial. Ada yang mengatakan musik indie sebagai genre musik “not even exist” (tidak ada-red), karena disebut musik indie adalah untuk membedakan antara yang mainstream dengan indie.



Ada juga yang berpendapat musik indie adalah istilah untuk membedakan antara musik yang dimainkan oleh musisi profesional dengan musisi amatir (pendapat terakhir bisa saja salah). Yang jelas indie sebuah gerakan bermusik berbasis dari apa yang kita punya, etika yang dimiliki—mulai dari merekam, mendistribusikan, dan promosi—dengan uang sendiri.

Mainstream secara umum, arus utama, tempat di mana band-band yang bernaung di bawah label besar, sebuah industri yang mapan. Band-band tersebut dipasarkan dan dipromosikan secara luas, baik nasional maupun internasional lewat media cetak, elektronik hingga multimedia, dan terekspos secara baik.

Jika berbicara kriteria dari mainstream dengan indie, itu lebih kepada industrinya. Perbedaan lebih kepada nilai investasi yang dikeluarkan perusahaan rekaman. Kalau masalah talenta, tidak ada yang memungkiri kalau band-band indie terkadang lebih bagus daripada band-band mainstream. Jadi di sini hanya masalah uang, karena industri musik berbasis kepada profit. Label menanamkan modal besar untuk mencari keuntungan yang lebih besar.

“ Ada yang mengatakan musik indie sebagai genre musik “not even exist” (tidak ada-red), karena disebut musik indie itu adalah untuk membedakan antara yang mainstream dengan indie.”

Musik Indie di Indonesia
Tumbuh dengan sendirinya, layaknya musik rock n’ roll di Amerika yang tumbuh natural walaupun pada awalnya ditentang oleh orangtua dan pemuka agama. Indonesia terimbas karena kita mengidolakan band luar. Maka jika kita telusuri, hampir semua band Indonesia adalah epigon dari band-band luar. Mereka mengawali karir mereka dengan membawakan lagu-lagu dari band luar mulai dari Koes Plus, God Bless sampai band-band awal 90-an.
Sebenarnya musik indie atau dulunya disebut underground sudah ada sekitar tahun 1970. Kalau Koes Plus mengawali karirnya dengan langsung dikontrak oleh Remaco, di Indonesia dimulai dengan band-band seperti God Bless, AKA, Giant Step, Super Kid dari Bandung, Terncem dari Solo dan Bentoel dari Malang. Pada saat itu mereka sudah mendeklarasikan bahwa band mereka underground.

Di dalam majalah tahun 1971 diberitakan adanya Underground Music Festival di Surabaya. Kompetisi antar band yang diwakili oleh God Bless , Giant Step , Bentoel , dan Tencrem. Mereka bertarung dan dari sinilah cikal bakal scene underground alias indie lahir. Band-band indie pun mulai berkembang yang kemudian mewarisi apa yang dilakukan para pendahulu mereka.

PAS Band jadi Sumber Inspirasi
Kata Indie mulai populer saat munculnya PAS Band tahun 1993. Namun dari setiap generasi selalu terjadi revisi, kesalahan-kesalahan dari pendahulu (seperti tidak pernah merilis album, selalu membawakan lagu orang lain, senang mempopulerkan lagu orang lain dan minimnya dokumentasi tentang musik-musik mereka) diperbaiki.

Maka jika dibilang PAS band established indie itu benar, tapi bukan mereka yang melahirkan musik indie. Bahkan album indie pertama bukan album PAS Band— For Through The SAP —melainkan album dari Guruh Gipsy—yang dibuat sekitar tahun 1976. Ini terungkap dari seorang pengamat musik Deny Sakrie baru-baru ini.

Tapi yang pasti, PAS Band mempopulerkan gerakan indie pada tahun 1993. Lima ribu kopi album mereka ludes. Apa yang dilakukan PAS Band menjadi inspirasi semua band yang ada pada waktu itu. Kemudian barulah lahir lah Puppen, Pure Saturday , dan Waiting Room.

Read More......

Surabaya Gelar 'Indie Rock Exhibition 2008'

Puluhan grup band indie dari Kota Surabaya dan sekitarnya akan meramaikan kegiatan 'Indie Rock Exhibition 2008' yang digelar di Balai Pemuda Surabaya, 4-5 Juli mendatang.

Ketua Panitia Penyelenggara IRE, Sjamsul Umur di Surabaya, Sabtu (28/06/08), mengatakan kegiatan ini dilatar belakang makin menjamurnya band-band indie di Indonesia, termasuk di Surabaya.



"Kami sengaja memilih indie rock untuk mempertegas bahwa Surabaya adalah gudangnya musisi dan penyanyi rock," kata Sjamsul.

Menurut ia, ada dua kriteria band indie yang bisa ikut meramaikan acara ini, yakni 19 band indie yang telah melahirkan album dan telah berkiprah minimal tiga tahun.

Dan kedua adalah 11 grup band indie yang minimal telah memiliki dua karya sendiri. Band yang masuk kriteria ini juga masih harus melalui audisi.

"Dari puluhan pendaftar, kami akhirnya hanya bisa memilih 11 grup band yang layak tampil di ajang Indie Rock Exhibition," ujar Sjamsul.

Ia menambahkan kalau eksibisi ini bisa disebut sebagai kompetisi band indie non-gelar di Surabaya. Dari kompetisi ini, panitia berencana membuat album kompilasi dari band-band terbaik tersebut.

Kepala UPTD Balai Pemuda Surabaya, Nirwana Juda menyambut baik digelarnya event ini, karena dalam beberapa tahun terakhir, band-band indie telah menjadi fenomena baru pada industri musik di tanah air.

Ia menambahkan band-band indie punya semangat besar untuk bersaing dengan band-band yang sudah mapan dan telah merebut hati masyarakat.

"Semangat band-band indie itu tentu harus diimbangi dengan inovasi, identitas, dan ketrampilan yang memadai. Yang tak kalah penting, band indie harus berkarakter, baik dari faktor karya maupun penampilannya," katanya.

Pada acara eksibisi nanti, dua grup rock asal Surabaya akan tampil sebagai bintang tamu, yakni Power Metal dan Bidadari.

Selain itu, sejumlah band-band indie yang sedang naik daun juga unjuk kebolehan, diantaranya Devadata, Macan, Ovalenz, Crucial Conflict, Blingsatan, dan Cinta Hitam.

Read More......

Nonton TV ...!!!

Mo nonton TV ?

Klik tanda play !




Fasilitas nonton TV lewat web emang enak kita jadi dapat menonton TV sambil chating maupun browsing.

Read More......

Bikin Film Bareng Artis di LA Indie Movie

Siapa yang tak mau bikin film bareng artis? Di LA Indie Movie yang digelar di Yogyakarta pada 26-27 Juli 2008, semua impian para penggemar film untuk menjadi filmmaker akan menjadi kenyataan. Saat digelar event tersebut di Taman Budaya Yogyakarta, para peserta antusias untuk mengikuti kompetisi ini.

Dari 600 peserta yang hadir terpilih sebanyak 50 orang yang akan maju audisi mempresentasikan sinopsis cerita film mereka di depan para sutradara handal Indonesia sepeti Hanung Bramantyo, Lola Amaria, Garin Nugroho, Djenar Maesa Ayu, Salman Aristo, dan Arthuro GP.

"Sinopsis film pendek yang terpilih nanti akan dibayari produksinya oleh rumah produksi, dan sutradaranya akan melibatkan banyak artis nasional," kata Fira Soviana, Project Officer rumah produksi SET.

LA Indie Movie yang digelar kedua kalinya di Yogyakarta ini tentu saja bukan hanya mencari sinopsis cerita yang akan difilmkan saja, melainkan tim produksi film nantinya akan dilibatkan dalam pembuatan film bareng artis. "Lima peserta yang terpilih akan mendampingi artis sebagai asisten sutradara, lighting, cameraman, dan juga stylist dalam tim produksi film," lanjut Fira.

Sederet artis yang akan dilibatkan dalam LA Indie Movie ini di antaranya Ringgo Agus Rahman, Wulan Guritno, Marcella Zalianty, Olga Lydia, dan Indra Birowo. Proses produksi akan berlokasi di masing-masing kota berdasarkan asal cerita tersebut.

Menurut Lola Amaria, salah satu juri LA Indie Movie, peserta dari Jogja sangat antusias dan kreatif. Ide-ide cerita mereka bagus, layak untuk difilmkan, "Tapi tetap harus dalam proses seleksi dulu," komentarnya.

Yogyakarta adalah kota keempat setelah Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Diharapkan dengan even ini akan lebih banyak menghasilkan generasi kreatif, tak hanya untuk film indie saja tapi juga di dunia perfilman Indonesia.

Read More......

Gairahkan Anak Muda Jadi “Film Maker”

Jakarta – Bisa dibilang, Indie Movie 2008 menjadi wadah spontanitas mereka untuk mencapai tujuan yang sesungguhnya sebagai sineas ataupun pekerja film. Suatu profesi yang kini begitu membanggakan hati sebagian besar anak muda Indonesia. Dimulai dari semangat kemerdekaan indie (independen), lalu ke depan nanti tiada salahnya kalau mereka terjun dan kian kompetitif menceburkan diri ke dalam industri bisnis perfilman yang makmur.

Sulit dipungkiri, nama-nama sineas “orang muda” seperti Garin Nugroho, Mira Lesmana, Riri Riza, Rudi Soedjarwo, Hanung Bramantyo dan lain-lain, telah memacu mereka untuk juga berkreativitas di bidang sinematografi.
Apalagi memang dunia sekarang ini “dimudahkan” oleh keberadaan teknologi digital, yang menjadikan siapa saja bisa membuat film. Akan tetapi, untuk memproduksi karya film yang baik, dibutuhkan keterampilan, pengetahuan, kerja keras dan kemampuan menumbuhkan kelompok kerja, komunitas serta kemungkinan pasar dan pemanfaatan dana manajemen yang efisien dan efektif.
Inilah yang menjadi latar pelaksanaan kompetisi film pendek, LA Lights Indie Movie 2008. Kompetisi itu berlangsung seru dengan kegiatan bengkel kerja di Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya dan kini berlanjut dalam aksi pemutaran hasil program Film Gue Cara Gue dan Bikin Film Bareng Artis dengan tambahan kota penyelenggaraaan, di Semarang.

Diberbagai Bioskop
Penayangan film-film pendek hasil dari seluruh rangkaian kegiatan Indie Movie 2008 bertajuk “LA Lights Up Your Soul” dimulai di Blitzmegaplex, Grand Indonesia dan Blitzmegaplex–Mall of Indonesia, Kelapa Gading Square (14-23 November 2008) serta dilanjutkan di Blitzmegaplex, Paris Van Java, Bandung (28-30 November 2008).
Aksi semangat kreativitas muda itu juga menyinggahi lima kampus yang menjadi pusat penyelenggaraan “LA Lights Up Your Soul”, didahului oleh Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Pondok Labu pada akhir Oktober lalu; Universitas Kristen Maranatha, Bandung (5/11); Universitas Hang Tuah, Surabaya (11/11), UPN Surabaya (12/11) dan Universitas Surabaya (13/11); Universitas Diponegoro, Semarang (21/11) dan diakhiri di UPN Veteran Yogyakarta (22/11).
Seperti dikatakan oleh Program Manager LA Lights Indie Movie 2008 Rina Damayanti, memang rata-rata termotivasi keinginan mereka menjadi “film maker”. “Mereka ingin punya pengalaman langsung membuat film. Sebagai sutradara, penulis skenario maupun kamerawan,” kata Rina.
Pelaksanaan Indie Movie 2008 dimaksudkan untuk sedikit banyak memberi alat input keterampilan memadai dalam memahami manajemen perfilman, teknologinya, bahasa film, cara pengelolaan komunitas dan gagasan-gagasan dengan biaya terbatas. “Keterbatasan biaya bukan berarti keterbatasan kreativitas,” begitulah makna penyelenggaraan kompetisi film pendek Indie Movie seperti yang terpapar pada beberapa program yang jadi bagian Indie Movie 2008. Termasuk gagasan paling baru berupa kegiatan “Bikin Film Bareng Artis” yang melibatkan sejumlah bintang film layar lebar seperti Olga Lydia, Wulan Guritno, Indra Birowo dan Ringgo Agus Rahman.
Empat film pendek berdurasi sepuluh menit karya kelompok anak muda yang lolos di ajang Indie Movie 2008 ini adalah “Bulan, Luka dan Senja” (mewakili Jakarta), “Anak Porong” (Surabaya), “Seratus Kata” (Bandung) dan “Merah Putih di Rumah Parjo” (Yogyakarta).

Read More......

Jawaika_Flower Generation

Sebut saja Tani Maju yang terkenal dengan The Artist Top Daerah-nya, Castol ataupun penggemar fanatik yang akan mengikuti kemanapun Tani Maju manggung yaitu Jogeder.

Kemudian sebut juga OPUS 275, OPUS 275 yang sejatinya adalah UKM Musik di UM ini juga sering manggung sebagai Guest Star di beberapa event musik yang digelar di dalam atau di luar kota Malang. Kemudian ada juga Pesawat 244, band ini adalah band dari Fakultas Sastra UM yang seringkali disebut sebagai "adik" dari Tani Maju.

Bagaimana tidak, aliran musik ceria yang diusung band ini memang sengaja "disuntikkan" Leo dan Srey yang tak lain adalah personel Tani Maju juga, bahkan ada kabar lagu "Cica" dari Tani Maju sengaja diciptakan Wibbie (Bassis Tani Maju) untuk menyatakan cintanya kepada Lussy (Vokalis Pesawat 244). Dan terakhir, OPIUM, band dari Fakultas Ilmu Pendidikan UM ini mengusung aliran musik punk yang dibawa Rendra, mahasiswa Administrasi Pendidikan 2002

OPIUM sudah dua tahun ini berturut-turut sukses menggelar acara "ASPIRASI", sebuah festival band yang diikuti band-band dari Jawa Timur beraliran punk, grind core, cadas, etc, misalkan Begundal Lowokwaru, Alergi Kentes, Keranda Mayat, dll. Kehadiran Jawaika tentunya semakin manambah panjang deretan band dari UM.

Dengan lahirnya album pertama mereka yang bertitel "Flower Generation", Jawaika mencoba menawarkan musik Reggae yang terdengar nyaman di telinga, "musik reggae perlahan-lahan menusuk pinggang", kata mereka di lagu "Flower Generation".

Nikmati juga lagu-lagu lain, misalnya, Bung Singo yang konsep dasarnya mirip lagu Castolnya Tani Maju yang bermain dengan akronim bahasa. Kemudian lagu "Yang Penting Bahagia" yang bercerita apapun pekerjaan kita, siapapun pacar kita, yang penting bahagia. Kemudian ada juga lagu "Indonesia Subur Makmur" yang tak lain adalah impian Jawaika melihat suatu saat nanti Republik Indonesia ini benar-benar subur makmur, gemah ripah loh jinawi, kata orang jawa.

Album "Flower Generation" yang berisi sepuluh lagu ini ternyata mampu menarik minat sebuah perusahaan telekomunikasi, Indosat untuk turut mempromosikan album ini. Dengan membeli album perdana Jawaika ini di Outlet-Outlet 6610 Community terdekat, Warung sari (WS) UM, Universitas se-Malang.

Untuk lebih jelasnya, silahkan hubungi SMS Center: 0858 5518 6610.
"Musik reggae perlahan-lahan menusuk pinggang"
(Jawaika_Flower Generation)

* Die2k, mahasiswa Sastra Indonesia UM, presiden Jogeder Rantau, Pemerhati dan penikmat musik indie Malang pada umumnya, dan UM pada khusunya, halah:)
sering ngopi bersama anak-anak Tani Maju di Warung Sari UM, Mbak Yam, Mbak Roes, atau sekedar nyanyi-nyanyi bareng Jawaika di Gazebo MPA Jonggring Salaka UM atau mengukur jalanan sama-sama mas Rendra_OPIUM. Kegiatannya sekarang, sedang membuat sebuah Website untuk Cupelmen Band, (lagi-lagi) band indie dari UM.

Read More......

INDIENATION

Kata orang band-band indie hanya dikenal di kotanya saja.Bahkan sebagian orang mungkin tidak mengetahui tentang band indie di kotanya...
acara INDIENATION yang bertempat di Lapangan Parkir Universitas Merdeka Malang. Tidak hanya musik indie, acara ini juga ditujukan untuk para pecinta indie movie...

Kata orang band-band indie hanya dikenal di kotanya saja.Bahkan sebagian orang mungkin tidak mengetahui tentang band indie di kotanya. Padahal banyak band-band besar yang menitih karirnya dimulai dari menjadi band indie. berbagai macam acara diikuti anak-anak band indie untuk menunjukkan tingkat musikalitas group bandnya. Dari menjadi band pembuka acara conser band-band besar asal ibukota sampai manggung dari cafe to cafe.
Oleh sebab itu untuk mensuport band-band indie Malang, pada tanggal 16 Juni kemarin diadakanlah acara INDIENATION yang bertempat di Lapangan Parkir Universitas Merdeka Malang. Tidak hanya musik indie, acara ini juga ditujukan untuk para pecinta indie movie.
Beberapa cuplikan film indi ditayangkan di sini. Acara yang di mulai dari jam 7 sampai jam 10 malam ini dimeriahkan oleh band indie diantaranya Taxi, Monalisa, Genoa, Melanin, Sunflower, Scissors,WAI, Rejected, Unda Undi, Mario, dan Clepto. Selain dapat mendengarkan musik band-band indie secara live kita juga dapat mendengarkan musik mereka di rumah dengan cara membeli CD Kompilasi dengan harga Rp.20000. Mungkin dengan cara membeli CD kompilasi ini kita sebagai anak AREMA turut mensuport band-band indie kota malang agar semakin kreatif dan mungkin bisa terkenal sampai Ibukota.
Kalau band Indie asal malang bisa exist di Ibukota pasti akan membawa nama MALANG sebagai gudangnya bibit seniman musik & movie Indonesia. Maju Terus MUSIK INDIE & INDIE MOVIE Kota Malang.

Read More......

Indiefest Hadirkan 10 Band Indie Lokal

Hari Selasa (16/5) lalu diadakan sebuah acara konser besar yang bertajuk Indiefest di taman Alumni ITS. Acara yang disponsori oleh salah satu perusahaan rokok ini menghadirkan tidak kurang dari sepuluh band indie yang telah lolos dari seleksi ketat yang diadakan oleh radio EBS FM, salah satu radio penyelenggara Indiefest di Surabaya.

Taman Alumni ITS, ITS Online - Dari awal, acara yang di selenggarakan oleh radio EBS FM dan salah satu event organizer lokal ini terlihat matang. Beberapa hari sebelum hari H, panitia telah mempromosikan acara ini secara besar-besaran. Hal ini terlihat dari pemasangan baliho dan spanduk yang dipasang di setiap sudut ITS. Sedangakan pemasangan panggung baru dimulai sekitar Senin (15/5) sore. Hasilnya tidak sia-sia, berkat kerja keras para kru, akhirnya sebuah panggung megah pun berhasil didirikan. Emil, salah satu kru acara ini mengatakan bahwa panggung megah ini hanya disediakan untuk konser Indiefest yang berada di luar ruang, �Kalo yang di dalam ruang kita hanya pakai panggung kecil yang sound-nya juga terbatas,� imbuhnya.

Penonton yang hadir untuk menyaksikan Indiefest ini terhitung banyak. Tidak saja dari ITS, banyak penonton yang hadir merupakan para pendukung sepuluh band indie yang akan tampil. Sepuluh band indie yang hadir membawakan masing-masing dua lagu yang diciptakan sendiri. tidak jarang para penonton ikut menyanyi bersama karena sudah mengenal lagu tersebut melalui radio. Martha, salah satu pengunjung yang hadir, mengaku bahwa banyak band indie yang hadir masih meniru band-band besar yang sudah lebih dahulu eksis. �Ada yang terlihat mencontek Ada Band dan Flanela,� ujar mahasiswi ITS ini.

Indiefest yang diselenggarakan di Surabaya merupakan sebuah ajang untuk menyaring band-band indie berbakat di Jawa Timur. Tidak jarang band-band indie yang ditampilkan pun berasal dari luar kota Surabaya seperti Malang dan Kediri. Sebut saja band Kid Ked yang berasal dari Kediri. Band yang mengusung musik yang beraliran romantic rock ini mengaku rela datang mengikuti ajang Indiefest di Surabaya untuk lebih mengenalkan band mereka seraya berharap untuk dapat menembus jajaran major label.

Sedangkan band lain yang berasal dari luar Surabaya adalah band Kamusuka. Band yang digawangi lima personil ini mengaku membawa aliran pop delay, �Kami mencoba untuk mengenalkan aliran bermusik kami yang unik,� ujar salah satu personil band indie yang berasal dari Malang ini.

Sebagian besar band-band yang dihadirkan malam itu merupakan band yang mengusung aliran pop. Mungkin hanya Rinos, salah satu band indie asal Surabaya, yang mencoba eksis dengan mengusung aliran musik yang mereka sebut dengan flat in chord. Dalam ajang ini juga tercatat ada seorang mahasiswa ITS yang tampil dalam band Atsui.

Vidya, salah satu penyiar radio EBS FM yang juga sibuk mempersiapkan acara ini mengatakan bahwa acara Indiefest ini merupakan acara pencarian bakat band indie lokal yang mempunyai musikalitas baik. Selain EBS FM, ada beberapa radio di Surabaya yang juga menjadi penyelenggara Indiefest ini. �Dari ribuan band indie yang mendaftar, nantinya hanya akan diambil 12 yang akan dimasukkan dalam album kompilasi,� ujar Vidya.

Mengenai persiapan yang diperlukan untuk menyelenggarakan acara sebesar ini, Jhagad, salah satu kru EBS FM, mengaku bahwa acara ini dipersiapkan sejak bulan Maret. �Yang paling lama adalah tahap seleksi melalui polling SMS,� ujar mahasiswa Unair ini. Namun melihat venue yang megah dan antusiasme mahasiswa ITS yang besar dia mengaku puas dengan acara Indiefest kali ini.

Read More......

Goodnight Electric

“Sebenarnya nama Goodnight Electric nggak memiliki arti khusus. Kita memilih nama ini karena catchy aja. Nama ini didapat waktu kita sedang menonton sebuah film, dan di film tersebut ada sebuah buku yang judulnya Goodnight Electric.”

The Inspirations
“Dalam bermusik, kita terinspirasi oleh beberapa band elektro dari tahun 1980-an seperti Depeche Mode, Belle Sebastian, The Cure, dan The Beatles. Menurut kita musik mereka itu unik banget, karena ada sound-sound yang luar biasa di dalamnya. Selain itu musik-musik semacam itu juga menyenangkan karena catchy juga.”
The Music
“Kalau untuk yang satu ini, kita nggak mau memberi istilah khusus, nanti kesannya kita terlalu mengkotak-kotakan musik. Musik Goodnight Electric sebenarnya merupakan gabungan dari beberapa aliran musik, yang semuanya kita pilih karena kita memang tertarik dengan musik elektro. Pengerjaan musik ini juga mudah alias nggak ribet. Kita bisa mengerjakannya di rumah, waktu tahap finishing baru kita kumpul di studio.”
The Band
“Dulu Goodnight Electric sempat memiliki personil empat orang, yaitu Oom Leo, Bondy Goodboy, Henry Foundation dan Rebecca. Tapi tiba-tiba Rebecca keluar, sedangkan saat itu kita lagi dikejar target untuk menyelesaikan album kedua. Sejak saat itu kita masih bertahan dengan formasi bertiga seperti sekarang ini.”
The Costumes
“Kostum kita yang seru-seru biasanya dibeli di pasar-pasar, distro, dan beberapa factory outlet. Intinya, kostum kita bertiga harus selalu seragam dan tetap unik.”
The Future of Indie
“Dari tahun ke tahun kelihatannya musik indie semakin maju dan lebih bagus. Tapi hal ini tergantung dari masing-masing band itu sendiri. Sekarang ini banyak band indie yang tetap konsisten di jalur indie karena mereka merasa bahwa itulah jalur mereka, dan mereka pun nyaman dengan jalur tersebut.”
The Collaboration
“Kita ingin banget bekerja sama dengan Ratu, karena daya tariknya Mulan.”
Our Dream
“Kita ingin banget bisa bermain di sebuah show tunggal dengan sound system dan lighting yang gila-gilaan. Tempatnya kita selalu ingin yang outdoor, dan crowd-nya datang hanya ingin melihat penampilan kita aja.”

Read More......

Perkembangan Indie

Di Indonesia pionir band indie adalah PURE SATURDAY,pertengahan tahun 90’s yang musiknya banyak ter-
influence dari The Cure alias Britpop.Soundnya sangat easy listening ditambah suara gitar akustik,kalo dengerin ini pasti
bawaanya santai,hati jadi damai dan damai,kayak hari minggu aja gimana.Di Bandung saat ini makin banyak band-band
yang menjamur dan meracuni kuping anak muda bandung pada khususnya,sebut saja The SUPER INSURGENT
GROUP of INTEMPERANCE TALENT a.k.a. The S.I.G.I.T. band yang beraliran garage rockin roll yang musiknya

terdengar seperti led zeppelin dan the datsuns.Bulan Juli lalu berhasil menyatroni Aussie untuk konser di 8 kota dan
sekitar 20 tempat sebagai band pembuka dari Dallas Crane band.Suara Rekti sang vokalis kedengaranya sih kayak
orang luar yang nyanyi padahal dia mah orang bandung asli.The S.I.G.I.T. juga menjual albumnya di Australia dibantu
perusahaan rekaman Crave. MOCCA,band pop juga tapi pop eropa bukan pop melayu yang mendayu dayu seperti yang
saat ini berkembang di negeri kita tercinta ini.Mocca vokalisnya cewek,lagunya nyantai juga kayak pure Saturday
ditambah bunyi teropet dan flute,ada juga Burgerkill yang bernuansa gelap metal,Polyester Embassy yang beraliran
Instrumental Pop,The Changcuters band komedi rock n roll,dsb......... Dari Jakarta band-band indie-nya berpusat dari
mahasiswa IKJ(Institut Kesenian Jakarta) yang terlalu kreatif,ada The Upstairs aliranya disko-disko gitu ditambah style
personilnya yang selalu berbusana cerah dan berwarna-warni dengan kacamata retro berbingkai putih,ditambah dansa
yang membuat band ini jadi trendsetter di kalangan anak muda ibukota.Banyak remaja yang berubah penampilan
terkena virus liar Jimi vokalis The Upstairs,tiap acara musik atau pensi sma yang mengundang The Upstairs pasti penuh
dengan remaja dengan pakaian warna warni,memakai atasan dan bawahan dengan warna kontras,ngejreng,dan
berdansa liar mengikuti Jimi.Meskipun udah gak indie lagi artinya udah masuk major label yaitu Warner Music,The
Upstairs gak mau ngerubah aliran musiknya jadi mainstream kayak band-band lain tapi mereka masih memegang teguh
pendirian indie-nya.Juga White Shoes & The Couples Company yang beraliran retro,dengerin band ini kayak dengerin
kaset papah mamah yang udah jadul,musik dan style-nya mengacu pada tahun 80’s.White Shoes gak hanya
berkibar di Ibukota saja tapi sampai ke Singapore,Thailand dan Malaysia.ada juga Goodnight Electric,trio synthpop yang
bergaya seperti robot,aliran musiknya electronic dengan bunyi-bunyian seperti video games yang membuat kepala kita
berputar-putar kalau mendengarnya,mereka juga sering berkeliling Asia Tenggara untuk menunjukan aksinya.album nya
terbukti laku dijual diluar negeri mungkin karena faktor GE pake bahasa Inggris yang memudahkan albumnya laku.
nggak heran kalau GE juga dijadikan perusahaan rekaman asal JEPANG yaitu JBL untuk menjual albumnya disana.GE
juga di sponsori apparel terkenal yaitu adidas untuk menjadi icon produknya.Banyaknya band Indie yang ada di
Indonesia dan ada juga yang sudah go international tidak membuat band ini laku menjual albumnya ke seluruh pelosok
Indonesia.Band-band itu hanya diketahui anak-anak kota besar saja dan keterbatasan dana dalam distribusi ke kota-
kota juga jadi alasan.Band-band ini memang sangat sulit mengadakan konser di Indonesia,gak ada sponsor yang mau
membantu mereka karena band-band itu beda dan belum banyak yang tahu,dan sponsor tidak mau rugi.Tapi beberapa
minggu lalu waktu gwa pulang ke Jakarta,gwa dengerin siaran radio lokal disana,NOKIA membentuk wadah bernama
Independent Artist Club (IAC) sebagai dukunganya terhadap perkembangan band indie di sini.Akhirnya... mungkin ini
sebagai secercah cahaya terang bagi masa depan makhluk-makhluk indie untuk berkembang dan mewujudkan cita-
citanya. Media televisi di Indonesia juga masih dimotori band-band yang beraliran itu-itu saja,mengambil tema
cinta dan cinta.Jadi bosen!hanya majalah dan media myspace dan youtube dari internet sebagai tempat berpromosi atau
televisi lokal di Bandung dan Jakarta yang seminggu sekali menayangkan aksi mereka.Kalau soal musikalitas menurut
gwa sesuai juga sama orang indonesia,cocok koq,tapi band-band itu banyak memakai bahasa inggris dalam liriknya dan
aliran juga masih asing,jadi mungkin masyarakat masih perlu beradaptasi.Tapi,jika ada perusahaan yang mau melawan
arus dan mau menjual kaset dan CD band indie sampai ke pelosok kota bukan mustahil band-band itu mampu
mengalahkan band-band yang ada di tv-tv saat ini.Selain manggung,band-band indie banyak yang menjual merchandise
berupa kaos yang banyak dipakai anak muda untuk menambah uang,memang pakai kaos dengan logo atau tulisan band
indie lebih KEREN daripada pakai kaos ungu atau kangen band!

Read More......
Template by : Avagtur www.avagtur.co.cc
Bottom