Media indie, Musik dan Gaya Hidup

Untuk membentuk citra indie sebagai sebuah semangat kemandirian, keluar dari batas hingga menunjukkan jati diri, maka musik adalah media dalam bentuk yang lain juga. Musik dan media adalah seirama. Ditambah lagi dimanapun juga, tak terkecuali di kota-kota kecil, studio musik sudah menjadi pemandangan semangat jaman.

Secara behavior, maka studio musik adalah tujuan untuk membentuk sebuah komunitas baru. Biasanya pula, disinilah awal bagi semangat indie untuk merambah media lain seperti majalah yang sekarang banyak beredar.


Apakah hubungan antara musik dengan gaya hidup tersebut? Untuk menjawab hal ini, maka taruhlah misal penyuka musik hip hop tentu akan berbeda dengan penyuka musik punk. Begitu pula penyuka musik F4 tentu akan berbeda dengan penyuka musiknya Radiohead. Hal inilah yang membentuk gaya hidup secara ideologi maupun secara performance. Secara ideologi, bila dalam proses pemikiran ada semacam pemahaman terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan untuk berbuat sesuatu, baik itu membangun, merubah ataupun menghancurkan.

Secara performance, audiens dapat berbeda konsepnya ketika memaknai sesuatu dengan penampilannya. Hal inilah yang akan mematangkan target audiens yang akan dituju. Tidak semua anak muda mempunyai semangat indie, karena tidaklah menyalahkan mereka kalau sejak mereka menyusui mereka sudah ditanamkan pada sebuah brand, bahwa ‘yang besar adalah yang bermutu’.

Hal tersebut berkaitan erat pula dengan kesanggupan media indie untuk memasuki area di luar komunitasnya. Bila demikian jadinya, maka hitunglah akan berapa tercetak majalah yang menyuarakan komunitasnya.

Inilah yang saya sebut media indie sebagai citra komunitas. Bila ada lima komunitas dengan lima ideologi yang berbeda, maka sudah ada lima majalah yang akan terbit. Wow…ini mungkin masih di satu kota, bayangkan bila setiap kota di Indonesia mempunyai komunitas dengan ideologi yang berbeda. Maka tidaklah mengherankan bila majalah-majalah indie inilah yang akan berpotensi menjadi menyodok majalah besar yang lebih dulu ada.

Ketika di awal penerbitan Trolley tahun 1999, maka ia sudah bisa disebut sebagai media indie, karena sumber dananya yang benar-benar tanpa subsidi penerbitan besar. Media inipun (dengar-dengar) membuat Majalah Hai kehilangan arah, karena kehadiran Trolley yang tak diduga sebelumnya dari tampilan visual maupun isinya begitu fantastik (untuk hal ini saya sangat salut pada Trolley). Dengan mengangkat isu gaya hidup, seni rupa dan musik Trolley memposisikan diri sebagai majalah indie dengan penggarapan yang serius dengan kekhasan Bandung-nya. Meski ia sekarang menjadi sejarah lahirnya anak muda yang tak terlalu menggantungkan mainstream untuk mendapatkan ideologinya, namun Hai sempat ‘terbakar’ oleh hadirnya media indie.

Lihatlah sekarang Hai tidak mempunyai energi lagi bila tidak bisa dikatakan tidak kreatif.

Selepas Trolley, maka lahir pula majalah indie yang lebih segmented, yaitu Blank!. Dengan membidik pasar primer pecinta desain grafis, majalah ini lahir dengan menawarkan khas aroma Jogja. Berbarengan dengan Blank! Makin banyak saja majalah yang tidak hanya menawarkan tulisan, namun juga komik dengan cita rasa lokalnya, misalnya komik dari komunitas Daging Tumbuh atau komunitas Tehjahe. Selanjutnya Outmagz (Jogja) hingga majalah Pause dan Ripple (Bandung) atau Singkink (Solo) makin menebar cita rasa indie yang tidak terkungkung oleh bahasa jurnalistik yang pakem, namun lebih menawarkan keinginan untuk bersenang-senang atau berenang dalam ideologi.

Template by : Avagtur www.avagtur.co.cc
Bottom