Semangat Indie di JiFFest

Redanya hujan yang mengguyur Bandung sore itu ditandain sama applause sekitar 100-an penonton yang udah nongkrong di Liga Film Mahasiswa ITB, yang juga jadi pertanda selesainya film yang mereka tonton. Satu persatu lantas mereka keluar dengan wajah puas.

"Bagus banget filmnya". Itu komentar dari kebanyakan penonton "Invasion of The Barbarian", salah satu film independent yang diputer di JiFFest Travelling Bandung 2004, di LFM ITB (9/5) kemaren. Komentar serupa juga diungkapin sama Kandi, salah satu penontonnya. "Teknik ngambil gambarnya bagus, skenarionya bagus," komentar mahasiswi Biologi ITB angkatan '99.

Sejak 1999, Yayasan Masyarakat Mandiri Film Indonesia ngegelar Jakarta International Film Festival (JiFFest), yang jadi wadah buat sineas-sineas muda berbakat seluruh dunia, buat unjuk gigi nampilin karya mereka. "Misinya adalah meningkatkan apresiasi masyarakat pada film yang bukan produksi industri masal," ungkap Program Manager JiFFest, Lalu Rosiamri.

Buat di Bandung sendiri, pihak JiFFest menggandeng Klab Baca Toko Buku Kecil (Tobucil) yang bermarkas di bilangan Kyai Gede Utama, sebagai local partner. "Ini kali ketiga sejak 2002, kita jadi local partner JiFFest di Bandung," jelas pihak Tobucil, Tarlen Handayani.

Dua puluh lima judul film yang terdiri dari film lokal dan internasional dibawa "keliling" ke delapan kampus se-Bandung mulai 8 Mei kemaren sampe 13 Mei nanti (lihat box).

Kampus? Enggak usah minder dulu buat belia yang masih sekolahan. Itung-itung sambil liatin kondisi kampus yang, tokh, nanti bakal belia tempatin juga 'kan. Udah bagus filmnya, gratis lagi. Nggak bakalan rugi kan.

Film non-mainstream,

Film-film yang diputer di JiFFest, rada beda sama film-film bioskop yang biasa belia tonton. Film-film itu ngusung semangat indie, yang biasanya diproduksi dengan biaya relatif rendah, dan pilihan temanya di luar mainstream.

Jadi jangan heran kalo content film rada-rada "gila" dan enggak umum banget. Kalo masih bingung sama model filmnya kayak gimana, coba deh, dateng ke rental VCD yang paling deket, terus pinjem film-film karya Oliver Stone, atau Quentin Tarantino. Dijamin deh, bingung sekaligus terpukau.

Kenapa mesti bingung sekaligus terpukau? Jelas aja, buat paham film seperti karya dua sineas tadi, dibutuhin tingkat konsentrasi tinggi waktu nontonnya. Alurnya terkadang enggak lazim, atau sudut pengambilan gambarnya sering nyeleneh, yang juga kadang bikin bola mata kita sibuk, hehehe. Dan begitu juga halnya kalo belia nonton film-film JiFFest. Tema-tema HAM, perubahan sosial, isyu globalisasi, bahkan propaganda sekaligus, jadi menu yang umum.

Istilah independen sendiri memang rada rancu waktu diterapin di konteks Indonesia. "Di Amerika, istilah film independen adalah film yang melepaskan diri dari industri yang mapan. Di Indonesia, film indie sendiri bisa didefinisikan sebagai film yang enggak masuk bioskop," jelas Salman Aristo, penulis skenario sekaligus editor MTV Trax. Karena make semangat indie tadi yang biasanya punya karakteristik "idealis" dan "low budget", booming bikin film indie pun terjadi.

Booming ini sendiri enggak lepas sama perkembangan teknologi, yang makin ngedeketin sama konsumennya. Sebut aja munculnya berbagai handycam digital yang makin banyak ditemuin di pasaran. Dengan itu, biaya produksi sebuah film bisa dipangkas. "Sekarang, dengan budget seratus ribuan, udah cukup buat biaya produksi bikin film sendiri," jelas Dhanie, Pimpro JiFFest Travelling Bandung 2004 untuk ITB.

Selain itu, menjamurnya kine klub bisa jadi wadah buat apresiasi juga ngedongkrak produktivitas film indie. "Booming film-film indie lokal dimulai dari munculnya Komunitas Film Independen (Konfiden)," kata Salman Aristo yang akrab disapa Aris.

Film-film yang dibikin lalu diapresiasi, dan enggak jarang yang lantas didistribusiin sendiri. Caranya diputer keliling ke berbagai tempat. Indie banget, 'kan?

Buka mata buka pikiran

Film indie yang biasanya menghabiskan budget relatif tidak besar, buat bisa dinikmati, harus punya nilai lebih yang bernama kualitas. Kualitas ini bisa didapet lewat konsep cerdas dan brilian yang diturunkan ke tataran teknis filmmaking. Dan untuk "membaca" produk jadinya, dibutuhkan juga tingkat apresiasi yang boleh dibilang tinggi dari si penonton.

JiFFest sendiri jadi salah satu event dari banyaknya event apresiasi sama film, lokal maupun internasional. Selama dua hari pemutaran film JiFFest Travelling Bandung 2004, tercatat 200-an pengunjung yang "betah" nonton. Ini patut diacungi jempol, karena disadari atau enggak, kualitas tinggi sebuah film juga bakal sebanding sama kritisnya daya pikir pengunjung. Makin kritis penonton, makin tinggi pula kualitas film.

Menurut Mas Lalu, tingkat apresiasi penonton sama film indie sejauh ini boleh dibilang tinggi. "Parameternya, misal Festival Film Independen Indonesia (FFII). Ada peningkatan 100% jumlah peserta di tahun berikutnya," jelasnya. Gila enggak tuh?

Nah, mumpung belia lagi pada liburan nunggu Ujian Akhir Nasional (UAN), kenapa enggak coba nonton sekaligus ngapresisasi film yang masih bakalan diputer sampe tanggal 13 Mei nanti. Udah gratis, wawasan belia dijamin bakal nambah. Jenuh 'kan, nonton terus sinetron "ngawang" di televisi yang cuman jualan bintangnya doang?

Makanya, coba tonton film-film "alternatif" yang diputer di JiFFest Travelling Bandung yang punya kekuatan di content. Syaratnya, seperti kata Tarlen, gampang aja koq: buka mata buka pikiran.

Read More......

Media indie, Musik dan Gaya Hidup

Untuk membentuk citra indie sebagai sebuah semangat kemandirian, keluar dari batas hingga menunjukkan jati diri, maka musik adalah media dalam bentuk yang lain juga. Musik dan media adalah seirama. Ditambah lagi dimanapun juga, tak terkecuali di kota-kota kecil, studio musik sudah menjadi pemandangan semangat jaman.

Secara behavior, maka studio musik adalah tujuan untuk membentuk sebuah komunitas baru. Biasanya pula, disinilah awal bagi semangat indie untuk merambah media lain seperti majalah yang sekarang banyak beredar.


Apakah hubungan antara musik dengan gaya hidup tersebut? Untuk menjawab hal ini, maka taruhlah misal penyuka musik hip hop tentu akan berbeda dengan penyuka musik punk. Begitu pula penyuka musik F4 tentu akan berbeda dengan penyuka musiknya Radiohead. Hal inilah yang membentuk gaya hidup secara ideologi maupun secara performance. Secara ideologi, bila dalam proses pemikiran ada semacam pemahaman terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan untuk berbuat sesuatu, baik itu membangun, merubah ataupun menghancurkan.

Secara performance, audiens dapat berbeda konsepnya ketika memaknai sesuatu dengan penampilannya. Hal inilah yang akan mematangkan target audiens yang akan dituju. Tidak semua anak muda mempunyai semangat indie, karena tidaklah menyalahkan mereka kalau sejak mereka menyusui mereka sudah ditanamkan pada sebuah brand, bahwa ‘yang besar adalah yang bermutu’.

Hal tersebut berkaitan erat pula dengan kesanggupan media indie untuk memasuki area di luar komunitasnya. Bila demikian jadinya, maka hitunglah akan berapa tercetak majalah yang menyuarakan komunitasnya.

Inilah yang saya sebut media indie sebagai citra komunitas. Bila ada lima komunitas dengan lima ideologi yang berbeda, maka sudah ada lima majalah yang akan terbit. Wow…ini mungkin masih di satu kota, bayangkan bila setiap kota di Indonesia mempunyai komunitas dengan ideologi yang berbeda. Maka tidaklah mengherankan bila majalah-majalah indie inilah yang akan berpotensi menjadi menyodok majalah besar yang lebih dulu ada.

Ketika di awal penerbitan Trolley tahun 1999, maka ia sudah bisa disebut sebagai media indie, karena sumber dananya yang benar-benar tanpa subsidi penerbitan besar. Media inipun (dengar-dengar) membuat Majalah Hai kehilangan arah, karena kehadiran Trolley yang tak diduga sebelumnya dari tampilan visual maupun isinya begitu fantastik (untuk hal ini saya sangat salut pada Trolley). Dengan mengangkat isu gaya hidup, seni rupa dan musik Trolley memposisikan diri sebagai majalah indie dengan penggarapan yang serius dengan kekhasan Bandung-nya. Meski ia sekarang menjadi sejarah lahirnya anak muda yang tak terlalu menggantungkan mainstream untuk mendapatkan ideologinya, namun Hai sempat ‘terbakar’ oleh hadirnya media indie.

Lihatlah sekarang Hai tidak mempunyai energi lagi bila tidak bisa dikatakan tidak kreatif.

Selepas Trolley, maka lahir pula majalah indie yang lebih segmented, yaitu Blank!. Dengan membidik pasar primer pecinta desain grafis, majalah ini lahir dengan menawarkan khas aroma Jogja. Berbarengan dengan Blank! Makin banyak saja majalah yang tidak hanya menawarkan tulisan, namun juga komik dengan cita rasa lokalnya, misalnya komik dari komunitas Daging Tumbuh atau komunitas Tehjahe. Selanjutnya Outmagz (Jogja) hingga majalah Pause dan Ripple (Bandung) atau Singkink (Solo) makin menebar cita rasa indie yang tidak terkungkung oleh bahasa jurnalistik yang pakem, namun lebih menawarkan keinginan untuk bersenang-senang atau berenang dalam ideologi.

Read More......

Download Lagu

Download Lagu


The Morning After-Quatro

Download Now


Monkey to Millionaire-Rules and Policy

Download Now


Kurang lengkap ?
Cari Lagi Di : Download Lagu-Lagi






Read More......

Dengerin Lagu

Dengerin Lagu

Mau dengerin lagu lokal yang lagi nge-hits?

Yakin anda ingin dengerin lagunya ?

Klik Di : Dengerin Lagu



Read More......

Kemerdekaan Berekspresi…

Teks oleh Oet Eno(musisi, penyanyi Indie asal Jakarta)

Perkembangan musik dunia seiring dengan peradabannya. Beragam dan banyak alirannya, tergantung penyampaian, cara karya musik tersebut ditampilkan. Baik aransemen, karakter vokal penyanyi, atau alat musik yang digunakan.

INDIE berasal dari kata independent , yang artinya merdeka. Merdeka dalam makna bebas berekspresi, bebas berkarya, idealis, cenderung tidak begitu menghiraukan sisi komersial. Ada yang mengatakan musik indie sebagai genre musik “not even exist” (tidak ada-red), karena disebut musik indie adalah untuk membedakan antara yang mainstream dengan indie.



Ada juga yang berpendapat musik indie adalah istilah untuk membedakan antara musik yang dimainkan oleh musisi profesional dengan musisi amatir (pendapat terakhir bisa saja salah). Yang jelas indie sebuah gerakan bermusik berbasis dari apa yang kita punya, etika yang dimiliki—mulai dari merekam, mendistribusikan, dan promosi—dengan uang sendiri.

Mainstream secara umum, arus utama, tempat di mana band-band yang bernaung di bawah label besar, sebuah industri yang mapan. Band-band tersebut dipasarkan dan dipromosikan secara luas, baik nasional maupun internasional lewat media cetak, elektronik hingga multimedia, dan terekspos secara baik.

Jika berbicara kriteria dari mainstream dengan indie, itu lebih kepada industrinya. Perbedaan lebih kepada nilai investasi yang dikeluarkan perusahaan rekaman. Kalau masalah talenta, tidak ada yang memungkiri kalau band-band indie terkadang lebih bagus daripada band-band mainstream. Jadi di sini hanya masalah uang, karena industri musik berbasis kepada profit. Label menanamkan modal besar untuk mencari keuntungan yang lebih besar.

“ Ada yang mengatakan musik indie sebagai genre musik “not even exist” (tidak ada-red), karena disebut musik indie itu adalah untuk membedakan antara yang mainstream dengan indie.”

Musik Indie di Indonesia
Tumbuh dengan sendirinya, layaknya musik rock n’ roll di Amerika yang tumbuh natural walaupun pada awalnya ditentang oleh orangtua dan pemuka agama. Indonesia terimbas karena kita mengidolakan band luar. Maka jika kita telusuri, hampir semua band Indonesia adalah epigon dari band-band luar. Mereka mengawali karir mereka dengan membawakan lagu-lagu dari band luar mulai dari Koes Plus, God Bless sampai band-band awal 90-an.
Sebenarnya musik indie atau dulunya disebut underground sudah ada sekitar tahun 1970. Kalau Koes Plus mengawali karirnya dengan langsung dikontrak oleh Remaco, di Indonesia dimulai dengan band-band seperti God Bless, AKA, Giant Step, Super Kid dari Bandung, Terncem dari Solo dan Bentoel dari Malang. Pada saat itu mereka sudah mendeklarasikan bahwa band mereka underground.

Di dalam majalah tahun 1971 diberitakan adanya Underground Music Festival di Surabaya. Kompetisi antar band yang diwakili oleh God Bless , Giant Step , Bentoel , dan Tencrem. Mereka bertarung dan dari sinilah cikal bakal scene underground alias indie lahir. Band-band indie pun mulai berkembang yang kemudian mewarisi apa yang dilakukan para pendahulu mereka.

PAS Band jadi Sumber Inspirasi
Kata Indie mulai populer saat munculnya PAS Band tahun 1993. Namun dari setiap generasi selalu terjadi revisi, kesalahan-kesalahan dari pendahulu (seperti tidak pernah merilis album, selalu membawakan lagu orang lain, senang mempopulerkan lagu orang lain dan minimnya dokumentasi tentang musik-musik mereka) diperbaiki.

Maka jika dibilang PAS band established indie itu benar, tapi bukan mereka yang melahirkan musik indie. Bahkan album indie pertama bukan album PAS Band— For Through The SAP —melainkan album dari Guruh Gipsy—yang dibuat sekitar tahun 1976. Ini terungkap dari seorang pengamat musik Deny Sakrie baru-baru ini.

Tapi yang pasti, PAS Band mempopulerkan gerakan indie pada tahun 1993. Lima ribu kopi album mereka ludes. Apa yang dilakukan PAS Band menjadi inspirasi semua band yang ada pada waktu itu. Kemudian barulah lahir lah Puppen, Pure Saturday , dan Waiting Room.

Read More......
Template by : Avagtur www.avagtur.co.cc
Bottom