Seni Sunda, Punk Rock, Indie Movement, dan Masyarakat Bandung

... Emang Bandung gak ada matinya. Langsung saja kuinjak rem dan kuparkirkan kembali motorku (tak sedikit pula yang ikut memarkirkan motornya bersama denganku) untuk melihat ada apa gerangan. Walaupun tanpa tenda-tenda stand dan poto-poto gubernur dan wakilnya, kerumunan ini lebih ramai daripada di Gedung sate. Pengemasan acaranya sih sangat sederhana, tapi tidak dengan pengunjungnya. Mereka sangat apresiatif.

Ternyata, ada sebuah acara yang diadakan salah satu clothing. Kebetulan daerah itu (Trunojoyo dan sekitarnya) adalah basis clothing di Bandung.

Langsung saja aku mendekat ke kerumunan tersebut dan......WAW.... CLOSEHEAD???? Ah, tambah saja aku semangat untuk melihat (tradisional OK, Punkrock juga T.O.P B.G.T,heuheuheu). Kebetulan sekali aku juga sangat senang dengan Close Head. Mulai dari saat mereka membuat album kompilasi ”STILL PUNX STIL SUCKS” bersama rekan-rekan se angkatannya Rocket Rockers, Sendal Jepit, dan beberapa band Punk Rock lainnya. Wah ternyata anak-anak abege Bandong sebagian pada di sini, nonton Close Head. Keren lah. Barudak Bandung masih terus mendukung indie movement dan gerakan-gerakan sejenisnya. Masih mencintai karya-karya lokal Bandung sendiri (ya walaupun masih bnyk yg tuturut munding, tapi itulah urang sunda).

Terlihat hausnya barudak Bandung terhadap acara-acara lokal yang pada tahun sebelum millennium sangat berjaya, tidak seperti sekarang, mau ijin tempat buat pagelaran seni indie saja susah. Terlebih akibat kejadian memilukan bulan Februari lalu. Antusiasme barudak Bandung terhadap acara-acara kelokalan komunitasnya, terlihat saat GOR SAPARUA kembali diaktifkan oleh anak-anak dari Gimmick (Edy Brokoli CS) beberapa bulan yang lalu. Walau sempat dihentikan di tengah-tengah acara oleh pihak kepolisian, tapi barudak Bandung sangat menghargai adanya acara tersebut. Acara tersebut tidak menimbulkan hal-hal yang di khawatirkan oleh pihak kepolisian. Semoga itu dapat membuktikan bahwa barudak Bandung damai anti rusuh.

Mari kita lihat perbedaan kegiatan anak muda Bandung yang ternyata lebih memilih mensuport kominitas Indie Movement ketimbang seni budaya lokal yang diselenggarakan resmi kerja sama dengan pemerintahnya sendiri (abis emang bagus-bagus juga, sih, band lokal Bandung. Percaya deh sama gw).

Ternyata sangat terasa, bagaimana bedanya, orang-orang di sekitar kita menghargai karya seni dan komunitasnya. Apapun budayanya, yang penting tetap bersatu menjaga Bandung

Seakan masih tidak percaya dengan kejadian hari Minggu kemarin, pada hari Senin pagi, aku buru-buru saja mencari informasi di media online lokal yang menjadi langgananku setiap pagi. Langsung saja aku buka pikiran-rakyat.com dan tribunjabar.co.id.

Yupiiii…benar saja aku menemukan berita yang aku cari. Dahsyat banget. Ternyata, yang datang kemaren dan pada bawa kamera gede-gede itu, ada yg wartawan dari dua surat kabar ini. Tak disangka ternyata mereka juga merasakan atmosfir yang aku rasakan saat itu. Lebih parah lagi di sini mereka hanya bisa memasukan poto dan keterangan potonya saja. Di media yang satunya lagi , masih agak mendingan lumayan ada beberapa paragraf untuk mengulas acara yang di Gedung Sate (19/10) hari itu.

Setelah dibaca dari berita mereka, pihak-pihak yang terkait memang terlihat tidak serius menyikapi acara tersebut. Lebih parah lagi disebutkan, Ketua Panitia Ananto Pratikno sudah berangkat ke Jakarta sejak Minggu (19/10) siang(paraaaaaah). Semoga para penggiat seni di Bandung tetap melaukan ’pergerakan’ walaupun kadang tak adil tapi seni harus tetap berjalan, jangan berhenti mewarnai Bandung

dengan kreativitas.

Template by : Avagtur www.avagtur.co.cc
Bottom